Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out
Selamat Datang di Blog Dena Kesmas Unsoed Semoga Informasi yang Saya Berikan Berguna untuk anda. Jangan lupa isi Komentar anda pada Buku Tamu yang kami sediakan berupa Pesan, Tanggapan, dan Saran.Terima kasih atas kunjungannya, semoga anda Sehat... selalu..!

Senin, 18 Oktober 2010

Hubungan status Gizi dengan Menstruasi

Senin, 18 Oktober 2010
1 komentar
   Menarke adalah haid yang pertama terjadi yang merupakan ciri khas kedewasaan wanita yang sehat dan tidak hamil.secara psikologis wanita remaja yang pertama sekali yang mengalami haid akan mengeluh rasa nyeri, kurang nyaman dan merasa perutnya terasa begah,tetapi pada remaja,keluhan-keluhan tsb tidak dirasakan.hal ini dipengaruhi oleh nutrisi yang adekuat yang biasa dikonsumsi,selain olahraga yang teratur.
   jadi buat teman-teman wanita,rajin yuckkk olahraga dan memakan makanan gizi seimbang.ok,trims'

read more

Jumat, 08 Oktober 2010

psikologi kerja oleh sri budi fajariyani_G1B009058

Jumat, 08 Oktober 2010
2 komentar

BAB I
PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan zaman, dunia usaha mengalami suatu perkembanngan yang positif, dari mulai usaha jasa maupun barang, hal itu berdampak pula pada sorotan atau perhatian khusus pada dunia tenaga kerja. Suatu perusahaan selalu menginginkan mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga produktivitas tenaga kerja yang tinggi akan sangat membantu suatu perusahaaan mendapatkan keuntungan yang diinginkan.
Produktivitas yang tinggi dapat diwujudkan dengan perhatian khusus perusahan terhadap tenaga kerjanya karena setiap individu dalam kenyataannya memiliki latar belakang, motif dan kepribadian yang berbeda, sehingga factor psikologi sangat berperan dalam peningkatan efesiensi dan produktivitas kerja, karena menyangkut kesadaran dalam menghadapi berbagai tugas dan tanggung jawabnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Psikologi kerja adalah pertumbuhan dan gerak kesadaran manusia karena pengaruh hal-hal diluar dirinya, yang terwujud kepada tingkah laku atau perbuatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Persepsi adalah salah satu hal yang berpengaruh terhadap perilaku kerja seseorang, persepsi antara lain dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, adat, motif, pengalaman, dan karakteristik kepribadian, kepribadian adalah suatu pola tingkah laku yang menetap dari seseorang dan cenderung akan diekspresikan, Kepribadian juga berpengaruh dalam tingkah laku dan sikap kerja seseorang karena kepribadian seseorang sangat berpengaruh terhadap cara-cara berhubungan dengan orang lain, sehingga diperlukan suatu penyesuaian tipe kepribadian dengan jenis pekerjaan yang sedang atau akan dikerjakan.
Sikap kerja yang baik dapat dihubungkan dengan usaha manusia memenuhi kebutuhan dan motifnya, terdapat dua factor yang mempengaruhi sikap kerja yang pertama yaitu factor yang menyenangkan seperti penerimaan, pengakuan, tantangan pekerjaan tanggung jawab dan kesempatan untuk berkembang, factor yang ke dua adalah factor yang tidak menyenangkan seperti pengawasan kondisi kerja, hubungan kerja, gaji, dan kehidupan pribadi.
            Motivasi adalah suatu dorongan dari dalam diri sendiri berupa keinginan, kebutuhan, tuntutan, untuk melakukan sesuatu, secara teknis sikap kerja yang menentukan prestasi kerja adalah perkalian dari usaha dan kemampuan, usaha dipengaruhi oleh motivasi, sedangkan kemampuan dipengaruhi oleh skill, latihan, dan alat-alat yang menunjang, sehingga untuk meningkatkan produktivitas, dari aspek psikologi perlu memberikan motivasi pada tenaga kerja untuk mencapai hasil yang diinginkan.
            Lingkungan kerja sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa tenaga kerja, ciri-ciri sehat jiwa yaitu mampu melaksanakan pekerjaan dengan berbagai masalah yang dihadapi, mampu menjalin hubungan dengan orang lain, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pekerjaannya, mampu menghadapi kesulitan secara realistic  dan konstruktif, pengaruh lingkungan kerja terhadap kesehatan jiwa yaitu dapat berupa rasa tidak nyaman terhadap pekerjaaan sehingga menimbulkan kelelahan dan dapat berakibat pada terjadinya kecelakaan kerja, atau dapat berupa emosional stess yang disebabkan oleh factor yang berada pada lingkungan kerja seperti hubungan antar manusia dalam lingkungan kerja. Hal-hal tersebut dapat di tanggulangi dengani merubah lingkungan atau perubahan lingkungan ke arah perbaikan yang memenuhi standar kesehatan kerja, merubah persepsi tenaga kerja terhadap hal-hal yang negatif ke arah positif,meningkatkan daya tahan tenaga kerja terhadap stress. Sedangkan menurut pendapat Keith Davis dan John W.  Newstrom,Ada 4 (empat) pendekatan  terhadap stres kerja,  yaitu   dukungan sosial  (social Support),  meditasi (meditation),  biofeedback,  dan program kesehatan pribadi  (personal wellness programs)


BAB III
KESIMPULAN
1.       Persepsi, kebutuhan, motivasi, kepribadian aalah hal-hal yang mempengaruhi perilaku dan sikap kerja seseorang.
2.       Lingkunan kerja sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa tenaga kerja.
3.       Rasa tidak nyaman, emosional stress merupakan hal-hal yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa tenaga kerja.
4.       Memperbaiki lingkungan kerja, mengubah persepsi adalah cara-cara mengatasi gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja


DAFTAR PUSTAKA
Anwar Prabu Mangkunegara.  1994.  Psikologi Perusahaan.  Bandung  : PT. Trigenda Karya.
Anwar Prabu Mangkunegara.  1994.  Psikologi Perusahaan.  Bandung  : PT. Trigenda Karya.
Davis M,Eshelmen ER,McKay M.1995.Panduan relaksasi dan reduksi Stres.EGC.Jakarta
Soenyoto Rais & Benny Soembodo.1997.Analisis Jabatan untuk Meningkatkan Efektifita Kerja.Airlangga press
WHO.1987.Psychosocial factors at work.Genewa




TUGAS TERSTRUKTUR
 MATA KULIAH KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Psikologi Kerja









Oleh   :
Sri Budi Fajariyani   G1B009058




UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2010





read more

EXPRESS LOUNDRI oleh sri budi fajariyani_G1B009058

2 komentar


read more

kanker kelenjar getah bening oleh sri budi fajariyani_G1B009058

2 komentar

BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang

Kanker kelenjar getah bening atau  limfoma merupakan salah satu di antara sepuluh jenis kanker yang sering ditemukan di Indonesia. Kanker ini dibagi atas dua kelompok besar yaitu limfoma Hodgkin dan limfoma non-Hodgk in.

Karena termasuk salah satu di antara sekitar sepuluh jenis kanker yang dapat disembuhkan maka limfoma non-Hodgkin perlu dikenali oleh dokter yang bertugas di fasilitas kesehatan terdepan agar dapat dirujuk pada stadium yang dini ke rumah sakit dengan fasilitas yang memungkinkan.Pengobatan pada kanker kelenjar gatah bening memerlukan beberapa tahap pengobatan sesuai dengan penggolongan penyakit tersebut.

 Limfoma non-Hodgkin adalah kanker dari kelenjar getah bening karena itu mudah menjalar ke tempat-tempat lain disebabkan kelenjar getah bening dihubungkan satu dengan yang lain oleh saluran-saluran getah bening. Selain berkembang di aliran getah bening, limfoma juga bisa beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah, sehingga limfoma dapat timbul di luar kelenjar getah bening, seperti di limpa, sumsum tulang, atau bahkan di organ lain seperti perut, hati, bahkan otak manusia.

Kanker kelanjar getah bening atau limfoma adalah sekelompok penyakit keganasan yang bekaitan mengenai sistem limfatik. Sistem limfatik merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh yang membentuk pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker dan apabila system limfasitik mengalami pembelahan abnormal dapat mengakibatkan timbulnya kanker.

Gejala dan penyakit kanker kelenjar getah bening meliputi pembengkakan kelenjar getah bening pada leher, ketiak atau pangkal paha.Pembengkakan kelenjar tadi dapat dimulai dengan gejala penurunan berat badan secara drastis, rasa lelah yang terus menerus, batuk-batuk dan sesak napas, gatal-gatal di seluruh tubuh, demam tanpa sebab dan berkeringat malam hari.

Limfoma juga bisa berakibat menurunnya jumlah sel darah merah di sumsum tulang yang bisa mengakibatkan anemia, pendarahan, dan penderitanya mudah terkena infeksi akibat penurunan jumlah dan fungsi lekosit tersebut.



b.      Permasalahan

Seringkali penderita tidak menunjukkan gejala khas yang dapat merujuk pada penyakit ini sehigga menjadi permasalah dalam penanggulangan awal penyakit kanker getah bening.Gejala awal hanya semacam benjolan atau pembengkakan kelenjar getah bening pada leher. Karena tidak ada keluhan khas banyak pasien baru berobat saat masuk stadium lanjut sehingga sel kanker sudah menyebar dan sulit diangkat dengan operasi.Keadaan tersebut berakibat pada penurunan angka harapan hidup.

Penurunan angka harapan hidup tersebut akibat telah menyebarnya sel  kanker pada beberapa organ, penanganan pada penderita dengan gejala demikian biasanya dilakukan dengan protocol pengobatan leukimia untuk menambah angka harapan hidup pada penderita.
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5 % kasus LNH baru terjadi pada anak laki-laki, dan 4 % pada anak perempuan per tahunnya.. Lebih banyak dari penderita didiagnosis sebagai Limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.

Makin tua usia makin tinggi risiko terkena kanker kelenjar getah bening  karena daya tahan tubuhnya menurun. Hingga kini penyebab kanker kelanjar getah bening belum diketahui secara pasti. Ada empat kemungkinan penyebabnya yaitu faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteri dan toksin lingkungan (herbisida, pengawet, pewarna kimia). Penyebabnya multifaktor.







BAB III
PEMBAHASAN


a.      Deskripsi Penyakit

Kanker kelenjar getah bening adalah kanker yang tumbuh akibat mutasi sel limfosit (sejenis sel darah putih) yang sebelumnya normal, dalam keadaan normal sel limfosit bekerja sebagai pertahanan tubuh,namun jika sel tersebut berkembang dan membelah secara tidak normal, akan menyebabkan terjadinya pembesaran kelenjar getah bening atau lebih dikenal dengan kanker kelenjar getah bening.

seperti halnya limfosit normal, limfosit ganas dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain. Selain berkembang di aliran getah bening, limfoma juga bisa beredar ke seluruh tubuh di dalam pembuluh darah, sehingga limfoma dapat timbul di luar kelenjar getah bening, seperti di limpa, sumsum tulang, atau bahkan di organ lain seperti perut, hati, bahkan otak

Ada dua jenis kanker sistem limfotik yaitu penyakit hodgkin dan limfoma non-hodgkin (NHL). Kanker kelanjar getah bening atau limfoma adalah sekelompok penyakit keganasan yang bekaitan dan mengenai sistem limfatik. Sistem limfatik merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh yang membentuk pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker.

Cairan limfatik adalah cairan putih menyerupai susu yang mengandung protein lemak dan limfosit yang semuanya mengalir ke seluruh tubuh lewat pembuluh limfatik. Ada dua macam sel limfosit yaitu sel B dan T. Sel B berfungsi membantu melindungi tubuh melawan bakteri dengan membuat antibodi yang memusnahkan bakteri. Gejala dan penyakit kanker kelenjar getah bening meliputi pembengkakan kelenjar getah bening pada leher, ketiak atau pangkal paha.

Pengobatan-pengobatan pada penderita kanker kelenjar getah bening diantaranya yaitu kemoterapi, radioterapi, imunoterapi tunggal atau kombinasi dengan kemoterapi, serta pengobatan dengan cara transplantasi sel induk darah atau sumsum tulang belakang pasien. kemoterapi masih menjadi langkah utama dalam mengatasi kanker. Namun, kemoterapi untuk penderita kanker kelenjar getah bening tidak membuat sel-sel kanker itu mati. Sel-sel itu hanya tidur. Selain beragam jenis pengobatan tersebut, biasanya memiliki efek samping dari seperti mual, muntah, diare, sariawan, dan demam.

b.      Faktor

Ada empat kemungkinan penyebab kanker kelenjar getah bening yaitu faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteri dan toksin lingkungan  seperti herbisida, pengawet, pewarna kimia. Penyebabnya multifaktor. Pendekatan diagnostik penderita kanker kelenjar getah bening umumnya sama dengan pendekatan penderita splenomegali atau kelainan leukosit atau imunoglobulin. Penderita dengan pembesaran kelenjar getah bening dapat disebabkan oleh  infeksi mikroorganisme seperti piogenik dan granulomatosa atau parasit, respon imun terhadap infeksi atau terhadap bahan noninfeksius, neoplasma primer atau sekunder, dan  penyebab yang tidak jelas penyakit autoimin, reaksi obat, dan lain-lain.
Selain itu ada juga beberapa faktor risiko yang diperkirakan memengaruhi munculnya kanker limfoma. Misalnya infeksi virus, infeksi bakteri, menurunnya kekebalan tubuh dan pengaruh toksin dari lingkungan seperti herbisida, pewarna rambut, pengawet kayu.

c.       Pencegahan

1.Healt Promotion

pencegahan agar tidak terinfeksi merupakan suatu hal yang penting,gaya hidup yang sehat merupakan pencegahan yang efektif dalam menghindari terjangkit penyakit kanker kelenjar getah bening yaitu dengan banyak mengkomsumsi makanan-makanan khususnya makanan-makanan rendah lemak dan makanan yang menggunakan pupuk organic atau alami,selainitu juga menghindari berada pada tempat-tempat yang memiliki kadar polusi tinggi.

Mengkomsumsi sayur-sayuran dan buah dan menambah asupan makanan-makanan yang mengandung anti oksidan tinggi agar terhindar dari toksin seperti seperti herbisida, pengawet, pewarna kimia yang dapat memicu timbulnya kanker kelenjar getah bening merupakan tindak pencegahan yang efektif selain itu cara yang efektif untuk menghindari penyakit ini adalah dengan melakukan pencegahan secara dini dengan menjaga kesehatan tubuh, terutama kebersihan tubuh dan mulut. Karena, jika kondisi mulut dan gigi seseorang tidak sehat, maka akan membuat kuman penyakit lebih mudah masuk ke dalam tubuh.


2.spesific protection

           
            Terapi-terapi pada penderita antara lain :
1.      Radioterapi
1.      Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
2.      Untuk ajuvan pada ”bulky dissease”
3.      Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
2.      Kemoterapi
1.      Kemoterapi tunggal (single agent)
Pemberian gizi yang tepat juga sangat penting dalam meningkatkan daya tahan tubuh pada penderita kanker kelenjar getah bening sebab masalah pada penderita adalah penurunan berat badan yang cukup drastis dan berkurangnya daya tahan tubuh yang akhirnya akan menimbulkan keadaan malnutrisi. Prevalensi penurunan berat badan (BB) sebesar 31%-40% pada penderita.
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita merupakan bagian dari terapi. Tujuan utama terapi nutrisi pada penderita ini adalah untuk mempertahankan atau meningkatkan status nutrisi sehingga dapat memperkecil terjadinya komplikasi meningkatkan efektivitas terapi (bedah, kemoterapi, radiasi) kualitas hidup dan survival penderita sehingga perlu diketahui lebih lanjut cara pemenuhan nutrisi penderita.



3.early diagnosis and prompt treatment

Waspada terhadap benjolan  atau pembesara kelenjar getah bening merupakan pencegahan terhadap penyebaran virus kanker agar tidak menjadi ganas,jika menemukan pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, ukuran biasanya lebih dari satu centimeter, dan terus bertambah seiring waktu sebaiknya segaralah memeriksakan diri ke dokter.


d.      Peranan Keluarga Dalam Usaha Pencegahan

Keluaga seharusnya menjadi agen pertama dalam pencegahan teahadap segala jenis penyakit yang mungkin timbul karena gaya hidup seperti pola makan yang sangat dipengaruhi oleh latar belekang keluarga.Dukungan keluarga dalam pencegahan penyakit yang menyerang pertahanan imunitas ini dapat dilakukan dengan menjaga pola makan setiap anggota keluarganya,seorang ibu sangat berperan dalam hal ini.

Pola makan yang sehat dan baik agar dapat tehindar dari kanker kelenjar getah bening diantaranya dengan mengkomsumsi makanan-makanan yang mengandung banyak serat dan menghindari makanan-makanan yang sedikit serat dan makanan yang mengandung bahan pengawet,pewarna serta makanan yang dibakar atau dipangggang atau digoreng dengan menggunakan minyak bekas dan juga makanan yang mengandung lemak tinggi.

Selain itu yang bisa dilakukan untuk mencegah kanker kelenjar getah bening ini adalah dengan terapi alami, yaitu mengonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan, seperti bawang merah, bawang putih, buncis, wortel, jagung, sayuran berdaun gelap dan buah jeruk adalah sayur dan buah yang memiliki daya perlindungan dan pengurangan yang tinggi terhadap kanker kelenjar getah bening.

            Penciptaan lingkungan rumah yang asri dan hijau dengan menanam banyak pohon agar toksin-toksin hasil polusi udara terserap oleh tanaman dan tidak masuk dalam tubuh juga merupakan tindakan pencegahan penyakit kanker kelenjar getah bening  dalam lingkungan keluarga.Selain itu juga dengan menggunakan pupuk organik pada pohon-pohon tersebut.

            Kelurga juga berperan dalam tingkatan kesadaran kesehatan bagi setiap anggotanya,orang yang mengkomsumsi rokok juga sangat rentan terinfeksi kanker kelenjar getah bening sehingga dalam pelaksanaan pencegahan diharapkan keluarga mampu membentuk kesadaran untuk setiap onggotanya agar bisa menghindari mengkomsumsi rokok.

Orang tua juga harus waspada pada kesehatan serta kondisi badan anak-anaknya sehingga apabila mereka terinfeksi kanker kelenjar getah bening dapat segera terdeteksi dan memperoleh pertolongan dengan baik dan benar.Mengkontrol kebersihan badan dan mulut juga merupakan tindakan pencegahan karena apabila  tubuh dan mulut sehat maka penyakitpun jauh dan dapat terhindar dari terjangkitnya penyakit kanker kelenjar getah bening

Keluaga yang senantiasa menjaga kesehatan dengan saling mendukung dalam hal-hal yang positif seperti pada gaya hidup sehat dan menjaga lingkungan serta meminimalkan dalam penggunaan bahan kimia merupakan tindak pencegahan yang efektif terhadap kanker kelenjar getah bening.Sehingga peran keluarga dalam pencegahan penyakit kanker kelenjar getah bening diharapkan menjadi sawar dalam membentengi tubuh setiap anggota keluarga dari factor-faktor pemicu timbulnya kanker kelenjar gatah bening.



























BAB IV
PENUTUP

a.      Simpulan

Penyakit kanker kelenjar getah bening merupakan peyakit yang disebabkan oleh mutasi sel limfosit dan dalam keadaan normal sel limfosit bekerja sebagai pertahanan tubuh namun jika terjadi mutasi sel-sel ini akan membelah terus menerus dan menjadi benjolan yang menjadi tanda awal seorang terinfeksi kanker kelenjar getah bening.

Benjolan tersebut berupa benjolan yang tidak nyeri, ukuran biasanya lebih dari satu centimeter, dan terus bertambah seiring waktu karena kanker ini juga  dapat tumbuh pada berbagai organ dalam tubuh termasuk kelenjar getah bening, limpa, sumsum tulang, darah ataupun organ lain maka benjolan atau pembengkakannya dapat di temui pada beberapa tempat di antaranya pada ketiak,leher dan pangkal paha.

Pada dasarnya kanker kelenjar getah bening atau disebut limfoma di bagi atas dua jenis yaitu kanker sistem limfotik yaitu penyakit hodgkin dan limfoma non-hodgkin atau NHL dan NHL dibagi atas beberapa sub-tipe.

Masalah dalam pengobatan kanker kelenjar getah bening adalah Seringkali penderita tidak menunjukkan gejala khas yang dapat merujuk pada penyakit ini sehingga deteksi dini sulit dilakukan, akibatnya banyak pasien baru berobat saat masuk stadium lanjut sehingga sel kanker sudah menyebar dan sulit diangkat dengan operasi, itu dikarenakan penyakit kanker kelenjar getah bening merupakan jenis penyakit kanker paling ganas. Penderita bisa meninggal dunia dalam waktu 6 bulan bila tidak dilakukan kemoteraphy secara kontinu.

Ada beberapa faktor pemicu munculnya kanker kelenjar getah bening diantaranya yaitu faktor keturunan, kelainan sistem kekebalan, infeksi virus atau bakteri dan toksin lingkungan  seperti herbisida, pengawet, pewarna kimia.Untuk menekan faktor-faktor tersebut dapat dilakukan pola pencegahan-pencegahan yang efektif.

Beberapa pencegahan yang dianggap efektif yaitu dengan menjaga badan dan mulut tetap bersih dan sehat,menjaga pola makan dengan mengkomsumsi sayur-sayuran dan juga buah-buahan yang mempunyai antioksidan tinggi serta menghindari penggunaan bahan kimia seperti pewarna buatan dan berbagai macam pengawet dan juga menghindari makanan-makanan yang berlemak.

Peran keluarga sangat penting sebagai pelindung pertama dalam proses pencegahan terutama peran ibu dalam menyajikan makanan-makanan yang sehat bagi setiap anggota keluarga,peran pendukung keluarga juga sangat penting karena pola makan dan kebiasaan-kebiasaan lain umumnya dipengaruhi oleh latar belakang keluarga.

Kewaspadaan terhadap gejala-gejala awal juga menjadi perhatian khusus agar penanganan dalam pengobatan bisa dilakukan lebih dini sehingga dapat memberikan harapan hidup yang lebih besar,karena memperoleh penanganan yang baik dan terpadu pada saat yang tepat saat kanker belum menyebar luas dalam tubuh dan menjadi kanker yang bersifat ganas.


b.      Saran

Di tingkat individu sebaiknya seseorang menjaga kesehatan dirinya agar tidak terjangkit kanker kelenjar getah bening dengan menjalankan pola hidup sehat antara lain menghindari rokok,mengkomsumsi makanan-makanan alami,menghindari bahan-bahan kimia dan menjaga kesehatan tubuh dan mulut.

Di tingkat yang lebih tinggi seharusnya manusia mulai sadar akan resiko-resiko bahan kimia dalam segala aktifitas hidupnya dari mulai bidang pertanian hingga industri sehingga penggunaan bahan kimia dapat ditekan.

Apabila menemukan hal-hal yang janggal dalam tubuhnya seperti benjolan sebaiknya konsultasikan dengan keluarga agar dapat di rujuk pada dokter sehingga apabila telah terjangkit penyakit kanker kelenjar getah bening diatas






BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Kanker kelenjar gatah bening atau limfoma di bagi menjadi dua sub-tipe besar yaitu limfoma non-hodgkin (LNH) dan limfoma Hodgkin,limfoma non-hodgkin adalah suatu keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat. Lebih dari 45.000 pasien didiagnosis sebagai limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahunnya (soeparman 1990).
            Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam proses tranformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Hal yang perlu diketahui adalah proses ini terjadi di dalam kelenjar getah bening, dimana sel limfosit tua berada diluar ”centrum germinativum” sedangkan imunoblast berada di bagian paling sentral dari ”central germinativum”.

Gejala pada sebagian besar pasien  LNH yaitu pasien dapat mengalami demam, keringat malam dan penurunan berat badan. Pada pasien dengan limfoma indolen dapat terjadi adenopati selama beberapa bulan sebelum terdiagnosis, meskipun biasanya terdapat pembesaran persisten dari nodul kelenjar bening. Untuk ekstranodalnya, penyakit ini paling sering terjadi pada lambung, paru-paru dan tulang, yang mengakibatkan karakter gejala pada penyakit yang biasa menyerang organ-organ tersebut.

 Dengan menerapkan kriteria yang digunakan  untuk menentukan rantai-rantai kelenjar getah bening yang saling berhubungan. Penyebaran penyakit juga terjadi dengan cara merambat dari satu tempat ke tempat yang berdekatan. Walaupun demikian hubungan antara kelenjar getah bening daerah leher kiri dan daerah para aorta pada LNH jenis folikular tidak sejelas seperti apa yang terlihat pada LNH jenis difus.(soeparman,1990)

Etiologi limfoma non Hodgkin adalah abnormalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom. Bisa juga disebabkan oleh infeksi virus seperti virus Epsteinbarr dan infeksi HTLV-1 (Human T Lymphotropic virus tipe 1) Beberapa pekerjaan yang sering dihubungkan dengan resiko tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan herbisida dan pelarut organik.Resiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan unlraviolet.(abdulmuthalib,)
Semua gejala yang dapat disebabkan oleh limfoma non Hodgkin juga dapat ditimbulkan oleh penyakit lain. Dengan kata lain, tidak ada satu gejala yang dapat digunakan untuk menjamin adanya limfoma non Hodgkin. Ini merupakan salah satu alasan mengapa pemeriksaan diagnostik sangat penting untuk menegakkan diagnosis limfoma non Hodgkin. (santoso,2004)
Terapi untuk LNH terdiri atas terapi spesifik untuk membasmi sel limfoma dan terapi suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita atau untuk menanggulangi efek samping kemoterapi atau radioterapi. Terapi spesifik untuk LNH dapat diberikan dalam bentuk berikut :
3.      Radioterapi
1.      Untuk penyakit yang terlokalisir (derajat I)
2.      Untuk ajuvan pada ”bulky dissease”
3.      Untuk tujuan paliatif pada stadium lanjut
4.      Kemoterapi
1.      Kemoterapi tunggal (single agent)
(santoso,2004)
Kemoterapi dapat menyebabkan nausea, vomiting, nyeri abdomen, mukositis, ileus diare dan malabsorbsi. Beberapa preparat antineopalstik yang sering menyebabkan simtom gastrointestinal (40%) antaralain cisplatin, doxorubicin, fluorouracil. Penggunaan obat analgesik opioid dapat menyebabkan nausea, konstipasi dan gas distension pada usus halus dan usus besar sehingga menyebabkan malabsorbsi (narcotic bowel syndrome), penggunaan diuretik sering menyebabkan penurunan kadar zinc yang mengakibatkan penurunan rasa kecap.Radioterapi dapat memberikan reaksi akut dan delayed reaction (komplikasi kronis). Reaksi akut dapat terjadi dalam 3 hari sampai 1 minggu terapi, dapat berupa kesulitan menelan akibat edema dan mukositis orofaring menyebabkan disfagia dan odinofagia, penurunan produksi saliva dengan konsekuensi penurunan enzim (radiasi kepala leher), nausea vomiting, enteritis atau diare (radiasi daerah abdominal). Komplikasi akhir berupa keradangan mucosal persisten, fibrosis intestinal.(boediwarsono,2006)
Limfoma sering pertama kali ditemukan sebagai hasil pemeriksaan fisik dokter atau pemeriksaan karena kondisi lainnya, seperti tes darah atau sinar-X dada. Hal ini khususnya pada kasus pasien dengan limfoma non Hodgkin indolen dimana pertumbuhan lambat dan sering tanpa gejala untuk waktu yang lama (bakta,2007).
Gejala klinis pada LNH dapat berupa sebagai berikut (bakta,2007) :
·         Pembesaran kelenjar getah bening
Suatu pembengkakan kelenjar getah bening tanpa rasa sakit, biasanya lebih dari 1 cm adalah gejala yang paling sering saat limfoma non Hodgkin didiagnosis. Kelenjar paling mungkin didapatkan di leher, ketiak dan lipatan paha. Pembengkakan biasanya tidak menimbulkan rasa sakit atau gejala lainnya, tetapi sering ukurannya meningkat dengan pasti. Tentunya, harus diingat, bahwa pembengkakan kelenjar getah bening sangat umum, dan mayoritas orang dengan pembengkakan kelenjar tidak menderita limfoma non Hodgkin. Sejauh ini kebanyakan penyebab pembengkakan kelenjar getah bening adalah infeksi. Kelenjar getah bening yang membengkak pada infeksi biasanya mereda setelah infeksinya teratasi.
·         Gejala konstitusional
Gejala konstitusional adalah gejala-gejala yang tidak spesifik yang mengindikasikan seseorang tidak sehat. Gejala konstitusional yang sering timbul pada limfoma non Hodgkin termasuk:
·         Demam berulang, yang tidak dapat diterangkan penyebabnya (dengan suhu tubuh melebihi 38 oC)
·         Keringat malam yang membasahi pakaian tidur dan alas tidur
·         Kehilangan berat badan yang tidak diinginkan (penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan dalam 6 bulan)
·         Kelelahan yang berat dan menetap
·         Penurunan nafsu makan
·         Jangkitan orofaringeal dijumpai pada 5-10 % kasus yang dapat menimbulkan keluhan sakit menelan (sore throat).
·         Anemia, infeksi, dan perdarahan dapat dijumpai pada kasus yang mengenai sumsum tulang secara difus.
·         Dapat dijumpai hepato/splenomegali
Gejala pada organ lain seperti kulit, otak, testis dan tiroid dapat dijumpai. Kelainan kulit sering dijumpai pada mycosis funguides
Pada tahun 2000 di Amerika Serikat diperkirakan terdapat 54.900 kasus baru, dan 26.100 orang meninggal karena LNH. Di Amerika Serikat, 5 % kasus LNH baru terjadi pada anak laki-laki, dan 4 % pada anak perempuan per tahunnya.. Lebih banyak dari penderita didiagnosis sebagai Limfoma non Hodgkin (LNH) setiap tahun di Amerika Serikat.(santoso,2004)

Pemberian gizi yang tepat sangat penting dalam meningkatkan daya tahan tubuh pada penderita LNH sebab masalah pada penderita LNH adalah penurunan berat badan yang cukup drastis dan berkurangnya daya tahan tubuh yang akhirnya akan menimbulkan keadaan malnutrisi. Prevalensi penurunan berat badan (BB) sebesar 31%-40% pada penderita LNH.
Penatalaksanaan nutrisi pada penderita LNH merupakan bagian dari terapi. Tujuan utama terapi nutrisi pada penderita ini adalah untuk mempertahankan atau meningkatkan status nutrisi sehingga dapat memperkecil terjadinya komplikasi meningkatkan efektivitas terapi (bedah, kemoterapi, radiasi) kualitas hidup dan survival penderita sehingga perlu diketahui lebih lanjut cara pemenuhan nutrisi penderita.(boediwarsono,2006)









DAFTAR PUSTAKA

1.      Santoso M, Krisifu C. Diagnostik dan Penatalaksanaan Limfoma Non-Hodgkin. Jakarta : Dexa Media, 2004.
2.      Bakta, I Made. 2007. Hematologi Klinik Ringkas. EGC, Jakarta
3.      Boediwarsono (2006): Terapi Nutrisi Pada Penderita Kanker. Dalam: Naskah Lengkap Surabaya Hematology Oncology Update IV. Medical Care of the Cancer Patient, editor: Boediwarsono, Soegianto, Ami Ashariati, Made Putra Sedana, Ugroseno. Hlm 134-141.
4.      Soeparman, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 1990

5.      Abdulmuthalib. Pedoman diagnosa dan terapi di bidang Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI





read more

isu-isu gender dalam HIV oleh sri budi fajariyani_G1B009058

1 komentar

I.       KASUS
Di Indonesia  jumlah pengidap HIV/AIDS meningkat lebih cepat dikalangan perempuan. Dari jumlah infeksi baru, yang terjadi setiap hari pada tahun 2004, 60% terjadi pada perempun.
Menurut Dr. Rosalia bahwa perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi rentan karena ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi. Dalam akses layanan pencegahan dan pengobatan seringkali antara perempuan dan laki-laki tidak sama. Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di Indonesia.  Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.
Gender merupakan masalah sosial. Persoalan gender terjadi karena peran laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan hubungan antara peran-peran tersebut. Peran laki-laki dan perempuan diterima sebagai kenyataan yang statis dan tidak ada usaha untuk mempertanyakan keadilan dari peran-peran tersebut. Persepsi yang salah juga mempengaruhi persoalan gender. Antara gender dan seks tidaklah sama. Ketidakadilan gender mempunyai dampak terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, karenanya keadilan gender harus menjadi fokus perhatian dalam semua analisa dan kegiatan HIV/AIDS. Perlu ada usaha untuk mengubah sistem-sistem sosial yang membuat perempuan rentan terhadap HIV.
Dalam konteks hubungan seksual, perempuan seringkali tidak mampu mengambil keputusan untuk dapat melakukan seks yang aman. Hal tersebut akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS,  merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada kelompok tertentu. Analisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya. Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat perempuan rentan terhadap HIV. Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada individu,  bukan relasi atau jaringan sosial yang terikat individu dengan kekuasaan yang berbeda.
II.    PEMBAHASAN
Isu gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, karena sejak manusia 
lahir di dunia ini  telah dibedakan menjadi dua jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan, namun di dalam masyarakat sering kali terjadi ketidaksetaraan di antara keduanya. Saat ini berbagai upaya telah dibuat untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.
Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan, sebagai kelompok cenderung mempunyai angka harapan hidup yang lebih panjang daripada laki-laki yang secara umum dianggap sebagai faktor biologis. Namun dalam kehidupannya perempuan lebih banyak mengalami kesakitan dan tekanan daripada laki-laki. Walaupun faktor yang melatarbelakanginya berbeda-beda pada berbagai kelompok sosial, hal tersebut menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupannya perempuan kurang sehat dibandingkan laki-laki. Penjelasan terhadap paradoks ini berakar pada hubungan yang kompleks antara faktor biologis, jenis kelamin dan sosial (gender) yang berpengaruh terhadap kesehatan.
Laki-laki dan perempuan cenderung diperlakukan secara berbeda oleh sistem pelayanan kesehatan. Perbedaan tersebut dapat berakibat terhadap perbedaan akses dan kualitas pelayanan yang diterima. Hambatan dalam akses terhadap pelayanan kesehatan terutama dialami oleh perempuan dan dari keluarga miskin, akibat tidak tersedianya biaya dan transportasi, pelayanan yang tidak sesuai dengan budaya atau tradisi, tidak mendapat izin dari suami sebagai orang miskin
Contoh ketidaksetaraan gender dalam bidang kesehatan
1.      Bias gender dalam penelitian kesehatan
Dalam penelitian banyak menyebutkan bahwa gangguan kesehatan yang dialami perempuan merupakan gangguan biasa sehingga tidak mendapat perhatian jika tidak mempengaruhi fungsi reproduksinya.

2.      Perbedaan gender dalam akses terhadap pelayanan kesehatan
Perlakuan petugas kesehatan sering dianggap kurang memperhatikan kebutuhan perempuan, misalnya dalam proses persalinan normal dan perempuan yang mengalami depresi karena kekerasan domestik oleh pasangannya.
Komitmen pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi. Namun, dalam kenyataannya ketimpangan gender dalam segala aspek kehidupan tetap terjadi, sehingga sangat perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya.
Salah satu persoalan yang cukup dekat dan kerap mendera perempuan dan penting sekali dipercakapkan adalah masalah HIV/AIDS, secara kuantitas penyakit ini lebih banyak menyerang kaum perempuan, penderita HIV/AIDS  didominasi kaum yang selama ini dianggap sebagai kelompok nomor dua dalam sistem sosio-kultural masyarakat.
Penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS yang dialami perempuan karena ketidakadilan gender disebabkan antara lain :
Pertama, kerentanan kultur atau budaya. Kekuatan budaya patriaki lazimnya di negeri ini sering menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang berdampak pada pola relasi laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang. Dalam kultur masyarakat kita, laki-laki selalu ditempatkan pada posisi yang paling atas. Laki-laki kerap kali menjadi penentu setiap keputusan-keputusan baik yang menyangkut persoalan publik maupun domestik.   
Pola-pola hubungan semacam ini tampak jelas pada pola hubungan suami istri secara vertikal. Apa pun yang dikehendaki suami maka si istri harus setia mengikutinya. Termasuk pada gaya hubungan seksualitas. Jika suami menghendaki gaya atau berperilaku seksualitas tidak aman, istri tidak boleh menolaknya. Sehingga berakibat pada kemungkinan besar penularan PMS (Penyakit Menular Seksual), seperti penularan HIV/AIDS terhadap istri yang dibawa oleh suami, karena penyebab HIV.
Kedua, kerentanan pendidikan dan ekonomi. Keterbatasan-keterbatasan perempuan untuk  menjangkau akses pendidikan yang lebih luas menyebabkan pola pikir sebagian dari mereka kurang bisa mengimbangi pergeseran zaman yang semakin modern dengan permasalahannya yang kian kompleks.
Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap sulitnya perempuan untuk masuk ke wilayah-wilayah publik guna mengaktualisasikan dirinya melalui bidang profesi yang bisa dibanggakan, sehingga banyak diantara mereka yang terpaksa memilih profesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial (PSK) untuk menunjang kehidupan perekonomiannya. Kondisi ekonomi juga mendorong perempuan terjebak dalam perkawinan yang penuh kekerasan atau menjadi korban trafficking, merupakan kondisi-kondisi yang kerap menjerumuskan perempuan dalam hubungan seksual dengan laki-laki yang HIV positif tanpa perlindungan.
Perlakuan kurang simpatik dari masyarakat terhadap profesi “rendahan” yang dijalani perempuan membuat mereka cenderung kurang diterima dalam lingkungan yang berbeda. Implikasinya adalah, ketika perempuan mencoba masuk ke dalam lingkungan yang berbeda itu, yang diterima justru tekanan yang bertubi-tubi  dari berbagai pihak, apalagi terhadap mereka yang berprofesi PRT dan PSK.  
Akibatnya profesi PRT sering kali mengundang pelecehan terhadap perempuan. Baik itu pelecehan fisik  maupun pelecehan seksual. Begitu juga dengan profesi PSK. Pekerjaan yang dianggap sebagai penyakit masyarakat itu terus saja mendapatkan tekanan dari masyarakat untuk diberantas keberadaannya. Pekerjaan ini juga menjadi biang atau mendatangkan petaka bagi perempuan itu sendiri seperti risiko tertular virus HIV, penyebab AIDS.
 Ketiga, kerentanan biologis. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda dalam hal alat reproduksinya. Hal ini menyebabkan pada sulit-tidaknya mendeteksi penyakit-penyakit menular seksual. Pada kaum laki-laki, pendeteksian semacam ini cenderung lebih mudah dilakukan mengingat alat reproduksinya yang berada di luar organ tubuh.
 Berbeda dengan perempuan. Apakah seorang perempuan telah terjangkit suatu penyakit seksual tertentu atau tidak, sulit mendeteksinya sejak dini. Sebab alat reproduksi perempuan berada di dalam organ tubuh sehingga penanganannya relatif mengalami keterlambatan. Permukaan (mukosa) genital perempuan juga lebih luas dibanding permukaan alat kelamin laki-laki, dan karena di dalam tubuh, menjadi semacam wadah penampung, tentu mempermudah penularan PMS.
 Selain tiga kerentanan di atas, satu hal lagi yang menyebabkan penderita HIV/AIDS lebih banyak menimpa kaum perempuan adalah stereotipe. Memberi stereotipe pada  perempuan banyak sekali menimbulkan ketidakadilan dan merugikan perempuan.  Stereotipe ini bersumber dari pandangan gender yang keliru.  
Misalnya perempuan dianggap sebagai pelayan laki-laki, perempuan adalah kaum yang mengundang syahwat laki-laki dan sebagainya. Sehingga jika terjadi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, stereotipe itu akan dikaitkan. Ini pun akan membuka peluang besar bagi perempuan untuk tertular PMS karena kekerasan dan pelecehan seksual merupakan tindakan yang sangat rentan terhadap penularan penyakit tersebut.
Respon terhadap epidemik HIV/AIDS dimulai dengan pemberian fokus pada kelompok resiko tinggi, termasuk pekerja seks komersial. Laki-laki dianjurkan untuk menjauhi pekerja seks komersial atau memakai kondom. Secara bertahap, fokus beralih pada perilaku resiko tinggi, yang kemudian menekankan pentingnya laki-laki menggunakan kondom. Hal ini menghindari isu gender dalam hubungan seksual, karena perempuan tidak menggunakan kondom tetapi bernegosiasi untuk penggunaanya oleh laki-laki. Dewasa ini, kerapuhan perempuan untuk tertular HIV/AIDS dianggap sebagai akibat dari ketidaktahuan dan kurangnya akses terhadap informasi, ketergantungan ekonomi dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar pemaksaan. Untuk itu. Upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dewasa ini didasarkan pada upaya pemantapan atau modivikasi peran gender.
Cara-cara pemecahan masalah menanggulangi ketimpangan gender dalam penyakit HIV/AIDS yaitu dengan Program-program nasional yang semestinya menfokuskan pada perempuan secara keseluruhan, tidak terbatas pada pekerja seks. Sementara pada aksi kampanye nasional, kondom misalnya, terjadi bias gender dalam promosi kondom. Perlu ada akses informasi yang sama bagi perempuan, termasuk perlu ada alokasi dana khusus bagi kelompok perempuan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
Agar kebijakan HIV/AIDS lebih efektif maka program dan pelaksanaannya harus merefleksikan perspektif gender. Perlu ada pengakuan pentingnya gender dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS dan dokumen resmi lainnya.Hanya dengan keadilan gender, proses memperdayakan perempuan, penanggulangan AIDS dapat berhasil.








III.       KESIMPULAN DAN SARAN
1.      Kesimpulan
a.       Perbedaan gender masih banyak ditemui dalam masyarakat dan hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi kesehatan perempuan
b.      Perbedaan gender juga menjadi penyebab kerentanan perempuan terinfeksi HIV/AIDS lebih tinggi.
c.       Untuk mengurangi peningkatan HIV/AIDS pada perempuan, dicanangkan upaya-upaya sebagai berikut:
                                                              i.      Program-program nasional yang semestinya menfokuskan pada perempuan secara keseluruhan.
                                                            ii.      Perlu ada akses informasi yang sama bagi perempuan, termasuk perlu ada alokasi dana khusus bagi kelompok perempuan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
                                                          iii.      Perlu ada pengakuan pentingnya gender dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS dan dokumen resmi lainnya
d.      Hanya dengan keadilan gender, proses memperdayakan perempuan, penanggulangan AIDS dapat berhasil.
2.      Saran
a.       Sebagai perempuan sebaiknya kita harus memiliki pengetahuan seksual yang baik dan benar.
b.      Perempuan juga harus memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hubungan seks terhadap pasanganya.



DAFTAR PUSTAKA
http://penyakit .infogue.com/ketimpangan gender jadikan wanita rentan HIV
Warren, C.2010. Journal of International Women's Studies. Western Kentucky University Scholar.













LAMPIRAN
Ketidakadilan Gender Sebabkan Perempuan Rentan HIV/AIDS
Satudunia, Jakarta. Para perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi rentan karena ketidak adilan gender. Demikian dikatakan Assoc. Prof. Dr.  Rosalia Sciortino, Pemerhati/Ahli Sosial Kesehatan pada acara sarasehan ‘Selamatkan Ibu dan Bayi dari Infeksi HIV’ di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Rosalia, ketidakadilan gender di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi. Dalam akses layananan pencegahan dan pengobatan seringkali antara perempuan dan laki-laki tidak sama.
Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di Indonesia.  Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.
“Banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, Indonesia pernah punya presiden perempuan, yang dulu tidak mungkin dibayangkan. Dulu perempuan tidak bisa keluar rumah, sekarang bisa. Dulu perempuan tidak jadi supir taksi, dan ini selalu berubah dan dinamis. Hal ini sangat penting untuk selalu kita ingat,” ujar Rosalia.
Gender adalah masalah sosial, kata Rosalia. Persoalan gender terjadi karena peran laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan hubungan antara peran-peran tersebut. Peran laki-laki dan perempuan diterima sebagai kenyataan yang statis dan tidak ada usaha untuk mempertanyakan keadilan dari peran-peran tersebut.
Menurut Rosalia, peranan gender terbentuk melalui perkembangan sejarah, ideologi, agama, politik, kebudayaan dan ekonomi. Salah satu jalan untuk merubah adalah dengan berubahnya nilai-nilai masyarakat, dan juga perlu gerakan sosial.
Persepsi yang salah juga mempengaruhi persoalan gender. Antara gender dan seks tidaklah sama. “Kita tahu, ketidakadilan gender mempunyai dampak terhadap kesehatan seksual dan reproduksi.  Karenanya keadilan gender harus menjadi fokus perhatian dalam semua analisa dan kegiatan HIV/AIDS. Perlu ada usaha untuk mengubah sistem-sistem sosial yang membuat perempuan rentan terhadap HIV,” kata Rosalia.
Dalam konteks hubungan seksual, perempuan seringkali tidak mampu mengambil keputusan untuk dapat melakukan seks yang aman. Hal tersebut akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS,  merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada kelompok tertentu. Analisisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya. Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat perempuan rentan terhadap HIV.
Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada individu,  bukan relasi atau jaringan sosial yang terikat individu dengan kekuasaan yang berbeda.














Publication: Journal of International Women's Studies
Author: Warren, Cassandra R
Date published: May 1, 2010
Gender and HIV/AIDS: Critical Perspectives from the Developing World. 2009. Jelke Boesten amd Nana K. Poku (eds.). Surrey, UK: Ashgate Publishing Limited. 204 pp. (Includes index, figures and tables). $99.95 (Hardback).
The 2008 report by the Joint United Nations Programme on HIV/AIDS stated that globally 30.6 million adults and children are living with HIV/AIDS (3), and when one isolates the statistics by region and gender, they show considerable variation, with a higher percentage of women infected, especially in Sub-Saharan Africa. The recognition of this inequality lead to the development of the term, 'feminization of AIDS,' which points to the social and biological features of women that place them in a vulnerable position. The scholarship and literature on this topic caused many organizations to focus funding on creating programs targeted at women. Although this was a positive feminist movement in regard to an awareness of sexual health, it was not without a backlash that reinforced the stigma of HIV/AIDS, put the blame on women, and portrayed women as victims. This epidemic involves many layers and sources of influence, which encompass more than just a focus on the spread of HIV/AIDS. In Gender and HIV/AIDS: Critical Perspectives from the Developing World, Jelke Boesten and Nana Poku explain women's vulnerability to HIV/AIDS in terms of structured gender inequalities and discuss the effects of this on people's access to health services and their capacity to protect themselves. Poku and Boesten address why and how these structured equalities support a system in which women remain vulnerable to HIV/AIDS. In addressing this situation, they focus on how policies and organizations of aid have attempted to ameliorate this vulnerability at the individual and community level. At the same time, however, Poku and Boesten examine how programs and legislation have weakened, though unintentionally, the position of the these organizations to provide successful assistance in some situations. The goal of this book is to explore structural inequalities and demonstrate their relationship to the AIDS crisis and to policies of effective change.
The book is divided into three parts: Gender Vulnerabilities, Targeted Interventions, and HIV/AIDS and Changing Gender Relations. Part One discusses the multiple layers and influences that effect women and present challenges to HIV prevention. This is done through exploring the different levels of marginalization among sex workers, exploring how multiple sources of power and discrimination-race, age, gender, sexuality, and class-work in combination to create people's identities and more importantly, their experiences of everyday life. For example, in chapter two, Ximena Salazar, Clara S. Figueroa, J. Maziel Giron, and Carlos F. Caceres discuss how sexual scripts place women in a vulnerable position, in which they often make destructive decisions. In Peru, women cannot consciously express sexual desire, and some young women use alcohol to blame a bad decision, such as sleeping with a boyfriend (47). Additionally, using a condom with a stable partner indicates that you are not to be trusted or that you do not trust your partner; either way, women are limited in their decision to negotiate the use of condoms. In chapter three Boesten, based on his fieldwork in Tanzania, addresses how women's gender and economic positions affect individual notions of risk and trust once they know that they are HIV positive (67). Because the labor market in Tanzania is not open to many women and causes men to travel, having multiply partners is legitimized for men and tolerated for women. Additionally, these circumstances cause women to have many boyfriends while their husbands are away in order to receive monetary or economic goods/resources. This situation presents a problem in Tanzania because town officials do not recognize that the main vector of HIV/AIDS is maintained through these different and long-term relationships, and instead focus their attention and resources on the sex industry on the outskirts of villages. This theme of problematic focus is highlighted in many of the chapters in Gender and HIV/AIDS, and provides insight into programs that focus on target groups, such as sex workers, homosexuals, and drug users.
Part Two looks at interventions in Cambodia and India, discusses their successes and failures, and examines how political and policy changes have affected programs that provide aid and support. This section is beneficial for social activists and policy makers, as it provides an understanding of prevention among sex workers and looks at top-down and bottom-up approaches through three particular policy contexts. In chapter five, Joanna Busza discusses how images of prostitutes as victims or vectors generalize their situation to the point that implementing effective methods of risk reduction are difficult and inefficient. Busza discusses these binary images of sex workers and the polarized debate among feminists in providing aid to sex workers by tracing the developments and changes in HIV prevention approaches to sex workers in India and Cambodia (103). Busza analyzes the success of the Sonagachi program in India to demonstrate how fostering solidarity and empowering women contribute to valuing community development as a legitimate HIV prevention strategy (104). Busza also discusses projects in Cambodia and Svay Pak to highlight two main points. First, she highlights the approaches that were successful in reducing vulnerability to HIV, such as creating social networks, developing trust between groups of prostitutes to build solidarity, and creating social supports. Second, she highlights how changes in policy and ideologies/values undermined the resources for these types of programs. During the Bush administration recipients of USAID grants could only support programs that formally opposed prostitution, thus programs whose focus was on empowering prostitutes or handing out condoms were financially restricted. In chapter six, Flora Cornish reinforces Busza's point by focusing on empowerment techniques used in HIV prevention programs with sex workers in India. Cornish states that programs need to tackle social issues instead of individual change if they want to maintain a successful approach (121). In India, men and women have different roles within7 sexuality and sexual behavior, which are created in a sociocultural context, and these differing roles affect their vulnerability to HIV/AIDS collectively more than individually.

Part Three focuses on HIV and changing gender relations, and how these changes can have a positive effect on not only decreasing and hopefully stopping the spread of HIV, but also on the relationship between men and women in general; namely, the socioeconomic differences that create inequality between men and women and are typically associated with power differences in these relationships, such as work/pay and political status, and rates of violent crimes against women. The order of these three parts provides a clear progression in which the reader will not only understand why women are more vulnerable to HIV/AIDS, but also how the sociocultural structures of gender and sexuality are entangled within the structural framework that contributes to these vulnerabilities. The argument made in Gender and HIV/AIDS is that if there is to be a significant decline in the number of HIV/AIDS infections, the sociocultural structures and norms in a society that place women at risk must be addressed.
Gender and HIV/AIDS carries the voices of both scholars and social activists. Typically, literature that is heavily inundated with political and feminist tones can be read as one-sided or become a source of controversy, but Boesten and Poku, as well as the other contributors, take a pragmatic perspective on how gender inequality and sexuality affects both women and men and how regional, political, and economic differences affect how women and men protect themselves, access health services and education, and survive with HIV/AIDS. I think Gender and HIV/AIDS could be useful in the classroom and for scholars with interest in this subject area. The book is not bogged down with theoretical or philosophical jargon and all authors successfully explain the complexities of structured inequalities in a manner that can be understood by both students and scholars from all academic backgrounds. Gender and HIV/AIDS provides a sobering outline of the multi-layered and entangled structures that place women in vulnerable positions in their communities and highlights the struggle we face as scholars, politicians, policy writers, and AIDS/HIV program leaders to improve the sexual health of women, men, and children worldwide.


read more
 

Photobucket
Photobucket
Photobucket