Home | Looking for something? Sign In | New here? Sign Up | Log out
Selamat Datang di Blog Dena Kesmas Unsoed Semoga Informasi yang Saya Berikan Berguna untuk anda. Jangan lupa isi Komentar anda pada Buku Tamu yang kami sediakan berupa Pesan, Tanggapan, dan Saran.Terima kasih atas kunjungannya, semoga anda Sehat... selalu..!

Jumat, 08 Oktober 2010

isu-isu gender dalam HIV oleh sri budi fajariyani_G1B009058

Jumat, 08 Oktober 2010

I.       KASUS
Di Indonesia  jumlah pengidap HIV/AIDS meningkat lebih cepat dikalangan perempuan. Dari jumlah infeksi baru, yang terjadi setiap hari pada tahun 2004, 60% terjadi pada perempun.
Menurut Dr. Rosalia bahwa perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi rentan karena ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi. Dalam akses layanan pencegahan dan pengobatan seringkali antara perempuan dan laki-laki tidak sama. Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di Indonesia.  Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.
Gender merupakan masalah sosial. Persoalan gender terjadi karena peran laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan hubungan antara peran-peran tersebut. Peran laki-laki dan perempuan diterima sebagai kenyataan yang statis dan tidak ada usaha untuk mempertanyakan keadilan dari peran-peran tersebut. Persepsi yang salah juga mempengaruhi persoalan gender. Antara gender dan seks tidaklah sama. Ketidakadilan gender mempunyai dampak terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, karenanya keadilan gender harus menjadi fokus perhatian dalam semua analisa dan kegiatan HIV/AIDS. Perlu ada usaha untuk mengubah sistem-sistem sosial yang membuat perempuan rentan terhadap HIV.
Dalam konteks hubungan seksual, perempuan seringkali tidak mampu mengambil keputusan untuk dapat melakukan seks yang aman. Hal tersebut akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS,  merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada kelompok tertentu. Analisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya. Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat perempuan rentan terhadap HIV. Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada individu,  bukan relasi atau jaringan sosial yang terikat individu dengan kekuasaan yang berbeda.
II.    PEMBAHASAN
Isu gender sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru, karena sejak manusia 
lahir di dunia ini  telah dibedakan menjadi dua jenis kelamin yang berbeda, yaitu laki-laki dan perempuan, namun di dalam masyarakat sering kali terjadi ketidaksetaraan di antara keduanya. Saat ini berbagai upaya telah dibuat untuk mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia.
Pola kesehatan dan penyakit pada laki-laki dan perempuan menunjukkan perbedaan yang nyata. Perempuan, sebagai kelompok cenderung mempunyai angka harapan hidup yang lebih panjang daripada laki-laki yang secara umum dianggap sebagai faktor biologis. Namun dalam kehidupannya perempuan lebih banyak mengalami kesakitan dan tekanan daripada laki-laki. Walaupun faktor yang melatarbelakanginya berbeda-beda pada berbagai kelompok sosial, hal tersebut menggambarkan bahwa dalam menjalani kehidupannya perempuan kurang sehat dibandingkan laki-laki. Penjelasan terhadap paradoks ini berakar pada hubungan yang kompleks antara faktor biologis, jenis kelamin dan sosial (gender) yang berpengaruh terhadap kesehatan.
Laki-laki dan perempuan cenderung diperlakukan secara berbeda oleh sistem pelayanan kesehatan. Perbedaan tersebut dapat berakibat terhadap perbedaan akses dan kualitas pelayanan yang diterima. Hambatan dalam akses terhadap pelayanan kesehatan terutama dialami oleh perempuan dan dari keluarga miskin, akibat tidak tersedianya biaya dan transportasi, pelayanan yang tidak sesuai dengan budaya atau tradisi, tidak mendapat izin dari suami sebagai orang miskin
Contoh ketidaksetaraan gender dalam bidang kesehatan
1.      Bias gender dalam penelitian kesehatan
Dalam penelitian banyak menyebutkan bahwa gangguan kesehatan yang dialami perempuan merupakan gangguan biasa sehingga tidak mendapat perhatian jika tidak mempengaruhi fungsi reproduksinya.

2.      Perbedaan gender dalam akses terhadap pelayanan kesehatan
Perlakuan petugas kesehatan sering dianggap kurang memperhatikan kebutuhan perempuan, misalnya dalam proses persalinan normal dan perempuan yang mengalami depresi karena kekerasan domestik oleh pasangannya.
Komitmen pemerintah melalui Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender juga sangat tinggi. Namun, dalam kenyataannya ketimpangan gender dalam segala aspek kehidupan tetap terjadi, sehingga sangat perlu dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor yang menjadi penyebabnya agar diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya.
Salah satu persoalan yang cukup dekat dan kerap mendera perempuan dan penting sekali dipercakapkan adalah masalah HIV/AIDS, secara kuantitas penyakit ini lebih banyak menyerang kaum perempuan, penderita HIV/AIDS  didominasi kaum yang selama ini dianggap sebagai kelompok nomor dua dalam sistem sosio-kultural masyarakat.
Penyebab meningkatnya kasus HIV/AIDS yang dialami perempuan karena ketidakadilan gender disebabkan antara lain :
Pertama, kerentanan kultur atau budaya. Kekuatan budaya patriaki lazimnya di negeri ini sering menimbulkan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang berdampak pada pola relasi laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang. Dalam kultur masyarakat kita, laki-laki selalu ditempatkan pada posisi yang paling atas. Laki-laki kerap kali menjadi penentu setiap keputusan-keputusan baik yang menyangkut persoalan publik maupun domestik.   
Pola-pola hubungan semacam ini tampak jelas pada pola hubungan suami istri secara vertikal. Apa pun yang dikehendaki suami maka si istri harus setia mengikutinya. Termasuk pada gaya hubungan seksualitas. Jika suami menghendaki gaya atau berperilaku seksualitas tidak aman, istri tidak boleh menolaknya. Sehingga berakibat pada kemungkinan besar penularan PMS (Penyakit Menular Seksual), seperti penularan HIV/AIDS terhadap istri yang dibawa oleh suami, karena penyebab HIV.
Kedua, kerentanan pendidikan dan ekonomi. Keterbatasan-keterbatasan perempuan untuk  menjangkau akses pendidikan yang lebih luas menyebabkan pola pikir sebagian dari mereka kurang bisa mengimbangi pergeseran zaman yang semakin modern dengan permasalahannya yang kian kompleks.
Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap sulitnya perempuan untuk masuk ke wilayah-wilayah publik guna mengaktualisasikan dirinya melalui bidang profesi yang bisa dibanggakan, sehingga banyak diantara mereka yang terpaksa memilih profesi sebagai pembantu rumah tangga (PRT) dan pekerja seks komersial (PSK) untuk menunjang kehidupan perekonomiannya. Kondisi ekonomi juga mendorong perempuan terjebak dalam perkawinan yang penuh kekerasan atau menjadi korban trafficking, merupakan kondisi-kondisi yang kerap menjerumuskan perempuan dalam hubungan seksual dengan laki-laki yang HIV positif tanpa perlindungan.
Perlakuan kurang simpatik dari masyarakat terhadap profesi “rendahan” yang dijalani perempuan membuat mereka cenderung kurang diterima dalam lingkungan yang berbeda. Implikasinya adalah, ketika perempuan mencoba masuk ke dalam lingkungan yang berbeda itu, yang diterima justru tekanan yang bertubi-tubi  dari berbagai pihak, apalagi terhadap mereka yang berprofesi PRT dan PSK.  
Akibatnya profesi PRT sering kali mengundang pelecehan terhadap perempuan. Baik itu pelecehan fisik  maupun pelecehan seksual. Begitu juga dengan profesi PSK. Pekerjaan yang dianggap sebagai penyakit masyarakat itu terus saja mendapatkan tekanan dari masyarakat untuk diberantas keberadaannya. Pekerjaan ini juga menjadi biang atau mendatangkan petaka bagi perempuan itu sendiri seperti risiko tertular virus HIV, penyebab AIDS.
 Ketiga, kerentanan biologis. Secara kodrati, laki-laki dan perempuan diciptakan berbeda dalam hal alat reproduksinya. Hal ini menyebabkan pada sulit-tidaknya mendeteksi penyakit-penyakit menular seksual. Pada kaum laki-laki, pendeteksian semacam ini cenderung lebih mudah dilakukan mengingat alat reproduksinya yang berada di luar organ tubuh.
 Berbeda dengan perempuan. Apakah seorang perempuan telah terjangkit suatu penyakit seksual tertentu atau tidak, sulit mendeteksinya sejak dini. Sebab alat reproduksi perempuan berada di dalam organ tubuh sehingga penanganannya relatif mengalami keterlambatan. Permukaan (mukosa) genital perempuan juga lebih luas dibanding permukaan alat kelamin laki-laki, dan karena di dalam tubuh, menjadi semacam wadah penampung, tentu mempermudah penularan PMS.
 Selain tiga kerentanan di atas, satu hal lagi yang menyebabkan penderita HIV/AIDS lebih banyak menimpa kaum perempuan adalah stereotipe. Memberi stereotipe pada  perempuan banyak sekali menimbulkan ketidakadilan dan merugikan perempuan.  Stereotipe ini bersumber dari pandangan gender yang keliru.  
Misalnya perempuan dianggap sebagai pelayan laki-laki, perempuan adalah kaum yang mengundang syahwat laki-laki dan sebagainya. Sehingga jika terjadi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan, stereotipe itu akan dikaitkan. Ini pun akan membuka peluang besar bagi perempuan untuk tertular PMS karena kekerasan dan pelecehan seksual merupakan tindakan yang sangat rentan terhadap penularan penyakit tersebut.
Respon terhadap epidemik HIV/AIDS dimulai dengan pemberian fokus pada kelompok resiko tinggi, termasuk pekerja seks komersial. Laki-laki dianjurkan untuk menjauhi pekerja seks komersial atau memakai kondom. Secara bertahap, fokus beralih pada perilaku resiko tinggi, yang kemudian menekankan pentingnya laki-laki menggunakan kondom. Hal ini menghindari isu gender dalam hubungan seksual, karena perempuan tidak menggunakan kondom tetapi bernegosiasi untuk penggunaanya oleh laki-laki. Dewasa ini, kerapuhan perempuan untuk tertular HIV/AIDS dianggap sebagai akibat dari ketidaktahuan dan kurangnya akses terhadap informasi, ketergantungan ekonomi dan hubungan seksual yang dilakukan atas dasar pemaksaan. Untuk itu. Upaya pencegahan penularan HIV/AIDS dewasa ini didasarkan pada upaya pemantapan atau modivikasi peran gender.
Cara-cara pemecahan masalah menanggulangi ketimpangan gender dalam penyakit HIV/AIDS yaitu dengan Program-program nasional yang semestinya menfokuskan pada perempuan secara keseluruhan, tidak terbatas pada pekerja seks. Sementara pada aksi kampanye nasional, kondom misalnya, terjadi bias gender dalam promosi kondom. Perlu ada akses informasi yang sama bagi perempuan, termasuk perlu ada alokasi dana khusus bagi kelompok perempuan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
Agar kebijakan HIV/AIDS lebih efektif maka program dan pelaksanaannya harus merefleksikan perspektif gender. Perlu ada pengakuan pentingnya gender dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS dan dokumen resmi lainnya.Hanya dengan keadilan gender, proses memperdayakan perempuan, penanggulangan AIDS dapat berhasil.








III.       KESIMPULAN DAN SARAN
1.      Kesimpulan
a.       Perbedaan gender masih banyak ditemui dalam masyarakat dan hal tersebut berpengaruh terhadap kondisi kesehatan perempuan
b.      Perbedaan gender juga menjadi penyebab kerentanan perempuan terinfeksi HIV/AIDS lebih tinggi.
c.       Untuk mengurangi peningkatan HIV/AIDS pada perempuan, dicanangkan upaya-upaya sebagai berikut:
                                                              i.      Program-program nasional yang semestinya menfokuskan pada perempuan secara keseluruhan.
                                                            ii.      Perlu ada akses informasi yang sama bagi perempuan, termasuk perlu ada alokasi dana khusus bagi kelompok perempuan dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
                                                          iii.      Perlu ada pengakuan pentingnya gender dalam strategi penanggulangan HIV/AIDS dan dokumen resmi lainnya
d.      Hanya dengan keadilan gender, proses memperdayakan perempuan, penanggulangan AIDS dapat berhasil.
2.      Saran
a.       Sebagai perempuan sebaiknya kita harus memiliki pengetahuan seksual yang baik dan benar.
b.      Perempuan juga harus memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hubungan seks terhadap pasanganya.



DAFTAR PUSTAKA
http://penyakit .infogue.com/ketimpangan gender jadikan wanita rentan HIV
Warren, C.2010. Journal of International Women's Studies. Western Kentucky University Scholar.













LAMPIRAN
Ketidakadilan Gender Sebabkan Perempuan Rentan HIV/AIDS
Satudunia, Jakarta. Para perempuan tidak lahir rentan terhadap HIV, tetapi mereka menjadi rentan karena ketidak adilan gender. Demikian dikatakan Assoc. Prof. Dr.  Rosalia Sciortino, Pemerhati/Ahli Sosial Kesehatan pada acara sarasehan ‘Selamatkan Ibu dan Bayi dari Infeksi HIV’ di Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut Rosalia, ketidakadilan gender di masyarakat menyebabkan program pencegahan HIV/AIDS di Indonesia maupun di negara-negara lain terhambat. Banyak ketimpangan yang terjadi. Dalam akses layananan pencegahan dan pengobatan seringkali antara perempuan dan laki-laki tidak sama.
Padahal gender bukan masalah yang sulit dan rumit untuk berubah di Indonesia.  Dalam sejarahnya masalah gender selalu berubah di Indonesia.
“Banyak perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, Indonesia pernah punya presiden perempuan, yang dulu tidak mungkin dibayangkan. Dulu perempuan tidak bisa keluar rumah, sekarang bisa. Dulu perempuan tidak jadi supir taksi, dan ini selalu berubah dan dinamis. Hal ini sangat penting untuk selalu kita ingat,” ujar Rosalia.
Gender adalah masalah sosial, kata Rosalia. Persoalan gender terjadi karena peran laki-laki dan perempuan dikonstruksi secara sosial dan hubungan antara peran-peran tersebut. Peran laki-laki dan perempuan diterima sebagai kenyataan yang statis dan tidak ada usaha untuk mempertanyakan keadilan dari peran-peran tersebut.
Menurut Rosalia, peranan gender terbentuk melalui perkembangan sejarah, ideologi, agama, politik, kebudayaan dan ekonomi. Salah satu jalan untuk merubah adalah dengan berubahnya nilai-nilai masyarakat, dan juga perlu gerakan sosial.
Persepsi yang salah juga mempengaruhi persoalan gender. Antara gender dan seks tidaklah sama. “Kita tahu, ketidakadilan gender mempunyai dampak terhadap kesehatan seksual dan reproduksi.  Karenanya keadilan gender harus menjadi fokus perhatian dalam semua analisa dan kegiatan HIV/AIDS. Perlu ada usaha untuk mengubah sistem-sistem sosial yang membuat perempuan rentan terhadap HIV,” kata Rosalia.
Dalam konteks hubungan seksual, perempuan seringkali tidak mampu mengambil keputusan untuk dapat melakukan seks yang aman. Hal tersebut akibat kaum hawa berada dalam posisi lemah dan kurang mengetahui beberapa hal akibat gender yang timpang. Seperti kurang mengetahui tentang HIV/AIDS,  merasa aman karena berpikir tidak berisiko, kurang berdaya membicarakan seks dengan suami atau pasangan, dan kurang berdaya melakukan negosiasi kondom.
Selain itu, dari studi dan analisis HIV/AIDS, ketidakadilan gender juga dapat dicermati pada fokus perhatiannya. Fokus perhatian hanya terbatas pada kelompok tertentu. Analisisa kekuasaan gender kurang dilakukan. Misalnya pekerja seks tetap dianggap sebagai fokus, bukan kliennya atau pasangannya. Preferensi untuk pendekatan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS adalah analisa perilaku, bukan sistem dan kondisi sosio-ekonomis yang membuat perempuan rentan terhadap HIV.
Ketimpangan gender dalam pencegahan HIV menurut Rosalia juga dapat dilihat dari program yang hanya difokuskan pada individu,  bukan relasi atau jaringan sosial yang terikat individu dengan kekuasaan yang berbeda.














Publication: Journal of International Women's Studies
Author: Warren, Cassandra R
Date published: May 1, 2010
Gender and HIV/AIDS: Critical Perspectives from the Developing World. 2009. Jelke Boesten amd Nana K. Poku (eds.). Surrey, UK: Ashgate Publishing Limited. 204 pp. (Includes index, figures and tables). $99.95 (Hardback).
The 2008 report by the Joint United Nations Programme on HIV/AIDS stated that globally 30.6 million adults and children are living with HIV/AIDS (3), and when one isolates the statistics by region and gender, they show considerable variation, with a higher percentage of women infected, especially in Sub-Saharan Africa. The recognition of this inequality lead to the development of the term, 'feminization of AIDS,' which points to the social and biological features of women that place them in a vulnerable position. The scholarship and literature on this topic caused many organizations to focus funding on creating programs targeted at women. Although this was a positive feminist movement in regard to an awareness of sexual health, it was not without a backlash that reinforced the stigma of HIV/AIDS, put the blame on women, and portrayed women as victims. This epidemic involves many layers and sources of influence, which encompass more than just a focus on the spread of HIV/AIDS. In Gender and HIV/AIDS: Critical Perspectives from the Developing World, Jelke Boesten and Nana Poku explain women's vulnerability to HIV/AIDS in terms of structured gender inequalities and discuss the effects of this on people's access to health services and their capacity to protect themselves. Poku and Boesten address why and how these structured equalities support a system in which women remain vulnerable to HIV/AIDS. In addressing this situation, they focus on how policies and organizations of aid have attempted to ameliorate this vulnerability at the individual and community level. At the same time, however, Poku and Boesten examine how programs and legislation have weakened, though unintentionally, the position of the these organizations to provide successful assistance in some situations. The goal of this book is to explore structural inequalities and demonstrate their relationship to the AIDS crisis and to policies of effective change.
The book is divided into three parts: Gender Vulnerabilities, Targeted Interventions, and HIV/AIDS and Changing Gender Relations. Part One discusses the multiple layers and influences that effect women and present challenges to HIV prevention. This is done through exploring the different levels of marginalization among sex workers, exploring how multiple sources of power and discrimination-race, age, gender, sexuality, and class-work in combination to create people's identities and more importantly, their experiences of everyday life. For example, in chapter two, Ximena Salazar, Clara S. Figueroa, J. Maziel Giron, and Carlos F. Caceres discuss how sexual scripts place women in a vulnerable position, in which they often make destructive decisions. In Peru, women cannot consciously express sexual desire, and some young women use alcohol to blame a bad decision, such as sleeping with a boyfriend (47). Additionally, using a condom with a stable partner indicates that you are not to be trusted or that you do not trust your partner; either way, women are limited in their decision to negotiate the use of condoms. In chapter three Boesten, based on his fieldwork in Tanzania, addresses how women's gender and economic positions affect individual notions of risk and trust once they know that they are HIV positive (67). Because the labor market in Tanzania is not open to many women and causes men to travel, having multiply partners is legitimized for men and tolerated for women. Additionally, these circumstances cause women to have many boyfriends while their husbands are away in order to receive monetary or economic goods/resources. This situation presents a problem in Tanzania because town officials do not recognize that the main vector of HIV/AIDS is maintained through these different and long-term relationships, and instead focus their attention and resources on the sex industry on the outskirts of villages. This theme of problematic focus is highlighted in many of the chapters in Gender and HIV/AIDS, and provides insight into programs that focus on target groups, such as sex workers, homosexuals, and drug users.
Part Two looks at interventions in Cambodia and India, discusses their successes and failures, and examines how political and policy changes have affected programs that provide aid and support. This section is beneficial for social activists and policy makers, as it provides an understanding of prevention among sex workers and looks at top-down and bottom-up approaches through three particular policy contexts. In chapter five, Joanna Busza discusses how images of prostitutes as victims or vectors generalize their situation to the point that implementing effective methods of risk reduction are difficult and inefficient. Busza discusses these binary images of sex workers and the polarized debate among feminists in providing aid to sex workers by tracing the developments and changes in HIV prevention approaches to sex workers in India and Cambodia (103). Busza analyzes the success of the Sonagachi program in India to demonstrate how fostering solidarity and empowering women contribute to valuing community development as a legitimate HIV prevention strategy (104). Busza also discusses projects in Cambodia and Svay Pak to highlight two main points. First, she highlights the approaches that were successful in reducing vulnerability to HIV, such as creating social networks, developing trust between groups of prostitutes to build solidarity, and creating social supports. Second, she highlights how changes in policy and ideologies/values undermined the resources for these types of programs. During the Bush administration recipients of USAID grants could only support programs that formally opposed prostitution, thus programs whose focus was on empowering prostitutes or handing out condoms were financially restricted. In chapter six, Flora Cornish reinforces Busza's point by focusing on empowerment techniques used in HIV prevention programs with sex workers in India. Cornish states that programs need to tackle social issues instead of individual change if they want to maintain a successful approach (121). In India, men and women have different roles within7 sexuality and sexual behavior, which are created in a sociocultural context, and these differing roles affect their vulnerability to HIV/AIDS collectively more than individually.

Part Three focuses on HIV and changing gender relations, and how these changes can have a positive effect on not only decreasing and hopefully stopping the spread of HIV, but also on the relationship between men and women in general; namely, the socioeconomic differences that create inequality between men and women and are typically associated with power differences in these relationships, such as work/pay and political status, and rates of violent crimes against women. The order of these three parts provides a clear progression in which the reader will not only understand why women are more vulnerable to HIV/AIDS, but also how the sociocultural structures of gender and sexuality are entangled within the structural framework that contributes to these vulnerabilities. The argument made in Gender and HIV/AIDS is that if there is to be a significant decline in the number of HIV/AIDS infections, the sociocultural structures and norms in a society that place women at risk must be addressed.
Gender and HIV/AIDS carries the voices of both scholars and social activists. Typically, literature that is heavily inundated with political and feminist tones can be read as one-sided or become a source of controversy, but Boesten and Poku, as well as the other contributors, take a pragmatic perspective on how gender inequality and sexuality affects both women and men and how regional, political, and economic differences affect how women and men protect themselves, access health services and education, and survive with HIV/AIDS. I think Gender and HIV/AIDS could be useful in the classroom and for scholars with interest in this subject area. The book is not bogged down with theoretical or philosophical jargon and all authors successfully explain the complexities of structured inequalities in a manner that can be understood by both students and scholars from all academic backgrounds. Gender and HIV/AIDS provides a sobering outline of the multi-layered and entangled structures that place women in vulnerable positions in their communities and highlights the struggle we face as scholars, politicians, policy writers, and AIDS/HIV program leaders to improve the sexual health of women, men, and children worldwide.

1 komentar:

Menuju Hari Sehat mengatakan...

menarik..
mks y..
:-)

Posting Komentar

 

Photobucket
Photobucket
Photobucket